Upaya Kerja Sama Internasional dalam Bentuk Bilateral maupun Multilateral untuk Mencegah dan Memberantas Korupsi.

A. Pendahuluan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengharapkan polisi negara-negara anggota ASEAN dapat meningkatkan kerjasama mengatasi kejahatan transnasional yang berkembang beberapa tahun terakhir ini Presiden dalam sambutannya mengatakan bentuk kejahatan yang ada saat ini sangat berbeda dengan bentuk kejahatan pada masa lalu. Oleh karena itu sangat dibutuhkan profesionalisme dan kerjasama antar petugas kepolisian selain harus ditunjang oleh pengembangan teknologi dan koordinasi dengan aparat intelejen, imigrasi dan bea cukai untuk mengatasinya. Sementara itu, Kapolri waktu itu Jenderal Polisi Da`i Bachtiar mengatakan bahwa konferensi itu antara lain akan membahas pengembangan kemampuan personil polisi ASEAN untuk menghadapi berbagai kejahatan transnasional. Ia mengatakan seusai konferensi tersebut akan ada komunike bersama untuk pengembangan kerjasama kepolisian ASEAN.
Pasal 1 angka 1Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisasi (UN Convention Against Transnational Organized Crime) menyebutkan Tindak Pidana Transnasional ialah Kejahatan Lintas batas, diantara 2 (dua) atau lebih negara. Pengertian istilah tersebut terakhir digunakan dalam Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisasi tahun 2000. yang diartikan, sebagai kejahatan yang memiliki karakteristik (1) yang di dua Negara atau lebih; (2) pelakunya atau korban WNA; (3) sarana melampaui batas territorial satu atau dua negara
Pasal 8Konvensi PBB Anti Korupsi (UN Convention Against Corruption), mengatur tentang Kriminalisasi Korupsi yang berbunyi :
1. Negara anggota harus mengadopsi peraturan dan tindakan lain yang diperlukan guna menetapkan sebagai tindak pidana atas perbuatan yang dilakukan dengan sengaja:
(a) memberikan janji, menawarkan atau memberikan kepada seorang pegawai publik baik langsung atau tindak langsung sesuatu keuntungan untuk kepentingan si pemberi atau pihak lain atau badan hukum, dengan tujuan pegawai publik melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam melakukan tugas-tugasnya;
(b) permohonan atau penerimaan oleh pegawai publik, baik langsung atau tidak langsung, akan suatu keuntungan yang tidak dibenarkan untuk kepentingan sendiri atau orang lain atau badan hukum, dengan maksud agar pegawai publik tersebut melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dalam melakukan tugas-tugasnya.

Permasalahan Korupsi tertuju pada ancaman yang ditimbulkan, meliputi stabilitas keamanan, rusaknya nilai-nilai etika dan keadilan serta mengganggu pembangunan berkesinambungan khususnya yang berhubungan dengan aturan-aturan hukum. Keadaan tersebut adaketerkaitannyadengan bentuk-bentuk tindak pidana lain khususnya tindak pidana terorganisasi dan tindak pidana ekonomi. Korupsi selalu terkait dengan aset dalam jumlah yang sangat besar, yang mungkin secara proposional dan substansial merupakan sumber-sumber penerimaan negara, yang akhirnya akan mengancam stabilitas politik dan kesinambungan pembangunan negara yang bersangkutan.
Tindak pidana korupsi bukan hanya merupakan permasalahan lokal tetapi merupakan fenomena transnasional yang berdampak kepada seluruh masyarakat dan perekonomian.Untuk itulah perlu menggalang kerjasama internasional untuk mencegah secara esensial dengan pendekatan yang bersifat komprehensif dan multidisiplin. Hal ini dibutuhkan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi secara efektif,karena penanggulangan korupsi merupakan tanggung jawab Negara,oleh karena itu setiap negara harus bekerjasama satu sama lainnya, dengan dukungan dan partisipasi individu atau kelompok di luar sektor publik seperti masyarakat sipil, Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi kemasyarakatan lainnya.
B. Korupsi harus diperangi.
Korupsi (bahasa Latin:corruptio dari kata kerja corrumpere = busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok). Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar mencakup unsur-unsur sbb: perbuatan melawan hukum; penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana; memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi; merugikan keuangan negara atau perekonomian negara; Selain itu terdapat beberapa jenis tindak pidana korupsi yang lain, diantaranya: memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan); penggelapan dalam jabatan; pemerasan dalam jabatan; ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara); menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah atau pemerintahan rentan korupsi dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.Korupsi yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja.
Terjadinya Tindak Pidana Korupsi disebabkan beberapa hal antara lain konsentrasi kekuasan, Kurangnya transparansi, Kampanye politik yang mahal, Proyek yang melibatkan uang rakyat,Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan,Lemahnya ketertiban hukum, Lemahnya profesi hukum,Kurangnya kebebasan berpendapat,Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil. Rakyat yang apatis, tidak tertarik, atau mudah dibohongi,Kurangnya kontrol yang cukup untuk mencegah penyuapan.
Korupsi menunjukan tantangan serius terhadap pembangunan. Di dalam dunia politik, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Korupsi di pemilihan umum dan di badan legislatif mengurangi akuntabilitas dan perwakilan di pembentukan kebijaksanaan; korupsi di sistem peradilan menghentikan ketertiban hukum; dan korupsi di pemerintahan publik menghasilkan ketidak-seimbangan dalam pelayanan masyarakat. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Korupsi juga mempersulit pembangunan ekonomi dengan membuat distorsi dan ketidak efisienan yang tinggi.Dalam sektor privat, korupsi meningkatkan ongkos niaga karena kerugian dari pembayaran ilegal, ongkos manajemen dalam negosiasi dengan pejabat korup, dan resiko pembatalan perjanjian atau karena penyelidikan.Walaupun ada yang menyatakan bahwa korupsi mengurangi ongkos (niaga) dengan mempermudah birokrasi, konsensus yang baru muncul berkesimpulan bahwa ketersediaan sogokan menyebabkan pejabat untuk membuat aturan-aturan baru dan hambatan baru.Dimana korupsi menyebabkan inflasi ongkos niaga, korupsi juga mengacaukan “lapangan perniagaan”. Perusahaan yang memiliki koneksi dilindungi dari persaingan dan sebagai hasilnya mempertahankan perusahaan-perusahaan yang tidak efisien.
Korupsi menimbulkan distorsi (kekacauan) di dalam sektor publik dengan mengalihkan investasi publik ke proyek-proyek masyarakat yang mana sogokan dan upah tersedia lebih banyak. Pejabat mungkin menambah kompleksitas proyek masyarakat untuk menyembunyikan praktek korupsi, yang akhirnya menghasilkan lebih banyak kekacauan. Korupsi juga mengurangi pemenuhan syarat-syarat keamanan bangunan, lingkungan hidup, atau aturan-aturan lain. Korupsi juga mengurangi kualitas pelayanan pemerintahan dan infrastruktur; dan menambahkan tekanan-tekanan terhadap anggaran pemerintah.
Para pakar ekonomi memberikan pendapat bahwa salah satu faktor keterbelakangan pembangunan ekonomi di Afrika dan Asia, adalah korupsi yang berbentuk penagihan sewa yang menyebabkan perpindahan penanaman modal (capital investment) ke luar negeri, bukannya diinvestasikan ke dalam negeri.Diktator Asia, seperti Soeharto yang sering mengambil satu potongan dari semuanya (meminta sogok), namun lebih memberikan kondisi untuk pembangunan, melalui investasi infrastruktur,ketertiban hukum, dan lain-lain.
Korupsi politis ada dibanyak negara, dan memberikan ancaman besar bagi warga negaranya.Korupsi politis berarti kebijaksanaan pemerintah sering menguntungkan penyuap yang adalah kroni-kroninya, bukannya rakyat luas.Satu contoh lagi adalah bagaimana politikus membuat peraturan yang melindungi perusahaan besar, namun merugikan perusahaan-perusahaan kecil (SME).Politikus-politikus “pro-bisnis” ini hanya mengembalikan pertolongan kepada perusahaan besar yang memberikan sumbangan besar kepada kampanye pemilu mereka.
Mengingat masalah Korupsi sudah dimasukkan dalam Konvensi PBB yang, yaitu UNCAC (United Nations Convention Against Coruption) Tahun 2003 yang merumuskan bentuk-bentuk Tindak Pidana Korupsi, sehingga harus diacu mengingat Indonesia telah meratifikasi UNCAC. Salah satu bentuk perubahan yang dilakukan untuk mengharmonisasikannya, adalah dengan adanya amandemen terhadap UU Korupsi Nomor 39 Tahun 1999 yang telah dirobah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi, dengan Rancangan Undang-Undang tersebut, yang saat ini sudah sampai tahap pembahasan. Salah satu aturan yang diangkat adalah tentang Korupsi bukan hanya terjadi oleh Pegawai Negeri saja, tapi juga dilakukan oleh swasta, serta masalah kriminalisasi Gratifikasi.
Harmonisasi peraturan tersebut diperlukan agar penegakan hukum tindak pidana korupsi bisa berjalan sempurna, yaitu dalam hal diperlukan upaya ekstradisi, bantuan timbal balik, perampasan aset dan segala jenis kerja sama internasional. Dengan mengacu kepada UNCAC maka negara lain akan mudah mengerti tentang tindak pidana korupsi yang terjadi di dua negara tersebut. Dengan acuan yang sama maka kerja sama internasional akan mudah dilaksanakan, karena sesuai dengan perintah konvensi tersebut.
C. Upaya Melawan Korupsi melalui Kerja sama Internasional.

Kerjasama internasional dibidang penegakan hokumtelah terbukti sangat menentukan keberhasilanpenegakan hukum nasional terhadap kejahatan transnasional. Kerjasama Internasional tsb akansia-sia jika tidak ada kerjasama melalui perjanjian bilateral atau multilateral dalam penyidikan,penuntutan dan peradilan.Prasyarat perjanjian tsb tidak bersifat mutlak karena tanpa ada perjanjian itupun kerjasama penegakan hukum dapat dilaksanakan berlandaskan asas yang dikenal dan diakui oleh masyarakat internasional yang dikenal dengan asas resiprositas(timbal balik) .

Kerjasama penegakan hukum yang pertama kali dikenal adalah Kerja sama Internasional di bidang ekstradisi, kemudian diikuti kerjasama penegakan hukum lainnya seperti, dengan “mutual assistance in criminal matters”, atau “mutual legal assistance treaty”(MLAT’s); “transfer of sentenced person (TSP); “transfer of criminal proceedings”(TCP), dan “joint investigation” serta “handing over”. Kerjasama penegakan hukum tersebut secara lengkap diatur dalam Konvensi PBB Anti Korupsi (UN Convention Against Corruption)tahun 2003 telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan UN Convention Against Corruption; dan Konvensi PBB Anti Kejahatan Transnasional Terorganisasi (UN Convention Against Transnational Organized Crime) tahun 2000, sudah ditandatangani Pemerintah Indonesia pada bulan Desember tahun 2000, di Palermo, Italia, hanya mengatur ketentuan mengenai ekstradisi dan mutual legal assistancedan joint investigation saja.

Indonesia telah memiliki “undang-undang payung”(umbrella act) untuk ekstradisi dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi, dan untuk kerjasama penyidikan dan penuntutan, termasuk pembekuan dan penyitaan asset, dengan Undang-undang Nomor 1 tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (mutual assistance in criminal matters).Perbedaan kedua bentuk perjanjian kerjasama penegakan hukum tersebut adalah, bahwa perjanjian esktradisi untuk tujuan penyerahan orang(pelaku kejahatan ), sedangkan perjanjian MLTA’s untuk tujuan perbantuan dalam proses penyidikan,penuntutan dan pemeriksaan di sidang peradilan pidana termasuk pengusutan,penyitaan dan pengembalian aset hasil kejahatan.

UN Model Treaty on Mutual Assistance in Criminal Matters(1990) yang telah diadospi dengan Resolusi Sidang Majelis Umum PBB (45/117) tanggal 14 Desember 1990, menegaskan antara lain, dalam Pasal 1 angka 3, Ketentuan Pasal 2 Asean Treaty on Mutual Legal Assistance (2004) juga memuat ketentuan tsb sehingga secara a contrario, perjanjian ekstradisi juga tidak dapat memuat ketentuan mengenai pembekuan,penyitaan dan pengembalian aset.

UN Model (1990) tsb juga dilengkapi dengan Optional Protocol yang antara lain menegaskan kewajiban negara diminta (requested state) untuk memenuhi permintaan penelusuran, penetapan lokasi aset yang disembunyikan, melakukan penyidikantransaksi keuangan dari pemilki aset dimaksud, dan melakukan upaya untuk memperoleh informasi atau bukti untuk “mengamankan” aset tersebut.Selain hal tsb, optional protocol juga mewajibkan negara diminta untuk membolehkan putusan pengadilan di negara peminta (requesting state) dapat dilaksanakan di negara diminta untuk membekukan dan menyita aset hasil kejahatan dimaksud .

UN Model tentang Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana juga menegaskan bahwa, penolakan bantuan tidak dapat dilakukan hanya atas dasar “kerahasiaan bank” (Bank-secrecy).Ketentuan ini justru telah dicantumkan dalam Asean Treaty on Mutual Legal Assistance tahun 2004, dan merupakan celah hukum yang kuat karena ketentuan tsb bersifat “mandatory obligation”.

UN Model on Extradition tahun 1990, selain memuat prosedur permintaan, penolakan dan persetujuan permintaan negara peminta untuk menyerahkan pelakunya, juga memasukkan ketentuan mengenai “surrender of property”. Pasal 13 memungkinkan negara diminta seketika perjanjian ekstradisi dipenuhi, maka menyerahkan juga “property” yang berasal dari kejahatan untuk mana pelakunya diekstradisi. Model PBB untuk Ekstradisi ini menyebutkan sekalipun ekstradisi tidak dapat dilaksanakan, “property” dari hasil kejahatan tsb dapat dikembalikan atau dilakukan “handing over” atas “property” tersebut.

Merujuk kepada UN Model tentang Mutual Assistance in Criminal Matters(1990) sangat jelas bahwa, perjanjian Treaty on Mutual Legal Assistance negara anggota Asean tidak dibolehkan untuk tujuan antara lain penyerahan tersangka(lihat Pasal 2). Pemerintah Indonesia, yang diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM ketika itu, bersama-sama dengan 7(tujuh) negara anggota Asean termasuk Singapura telah menandatangani Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (TREATY ON MUTUAL LEGAL ASSISTANCE IN CRIMINAL MATTERS) pada tanggal 29 November tahun 2004 ,.

Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menlu Hasan Wirayuda, juga telah menandatangani, perjanjian ekstradisi tsb dengan Pemerintah Singapura pada tanggal 27 April 2007, namun perjanjian ini belum diratifikasi di DPR, karena terkait permintaan Singapur berhubungan dengan masalah wilayah dan/atau kedaulatan, shg pada dasarnya perjanjian dengan Singapur tersebut belum berjalan.

Pengertian transnasional itu sendiri dalam hukum internasional selain memiliki konotasi keterlibatan dua sistem hukum dan hukum (nasional) positif dari dua negara atau lebih, juga memiliki lingkup luas.Karakter perjanjian ekstradisi pasca abad pertengahan,selain aspek penuntutan, terkandung juga aspek perlindungan hukum karena pengaruh pendekatan “humanitarian” dan berkembangnya masalah perlindungan Hak Asasi Manusia. Perlindungan hukum dalam perjanjian ekstradisi pasca perang dunia kedua, ditujukan terhadap pelaku kejahatan dimaksud agar ybs memperoleh hak-hak hukum secara benar dan diadili kembali oleh suatu proses peradilan yang “impartial” dan “fair” di negara yang peminta (requesting state) dan tidak dilatar-belakangi oleh sentiment atas dasar ras,etnis,agama dan politik. Oleh karena itu perjanjian ekstradisi sejatinya bukan untuk tujuan penghukuman pelaku kejahatan ybs melainkan untuk tujuan kerjasama dalam melancarkan penyerahan semata-mata seseorang ke negara asalnya. Proses peradilan pasca penyerahan merupakan yurisdiksi negara asal ybs, bukan lagi yurisdiksi negara yang diminta ekstradisi(requested state). Namun demikian, jaminan perlindungan hukum di atas agar tetap mengikat dituangkan ke dalam persyaratan perjanjian ekstradisi yang bersifat baik “mandatory obligation” maupun “non-mandatory obligation”.

Melalui teori perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Konvensi Wina mengenai Perjanjian Internasional (UN Convention on the Law of the Treaty) tahun 1969, dan berdasarkan praktik hubungan internasional. Pertama, berdasarkan prinsip-prinsip umum perjanjian internasional yang berlaku, “pacta sunt servanda”(Pasal 26) dan ketentuan bahwa, suatu negara tidak boleh menolak pelaksanaan suatu perjanjian dengan alasan bertentangan dengan sistem hukum nasional (Pasal 27) maka permintaan ekstradisi wajib dipenuhi sebagai suatu kewajiban mutlak bagi negara yang dimintakan ekstradisi. Namun di dalam praktik, khususnya di dalam perjanjian ekstradisi bilateral, prinsip-prinsip umum tersebut diatas dapat disimpangi sepanjang penyimpangan tersebut disepakati kedua belah pihak yang terikat ke dalam perjanjian esktradisi tersebut.Penyimpangan semacam ini dapat dibenarkan sepanjang dilakukan atas dasar “itikad baik”(in good faith), dan tidak juga bertentangan dengan prinsip “state souvereignty” sebagaimana dicantumkan dalam setiap perjanjian bilateral atau multilateral pada umumnya baik secara eksplisit maupun secara implicit. Konvensi PBB Anti Korupsi tahun 2003 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Undang-undang Nomor 7 tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi PBBAnti Korupsi, memuat ketentuan mengenai “state souvereignty” (Pasal 4); Konvensi Anti Kejahatan Transnasional Terorganisasi tahun 2000 memuat ketentuan tentang “State Souvereignty’(Pasal 4); International Convention for the Suppression of the Financing Terrorism, tahun 1999 (Pasal 21).

Penyimpangan tsb dapat diketahui dari ketentuan mengenai “penolakan”(refusal) atau “exception”(kekecualian) di dalam perjanjian ekstradisi. Semakin banyak syarat penolakan suatu permintaan ekstradisi dimuat dalam suatu perjanjian ekstradisi maka semakin sulit perjanjian tersebut dapat diwujudkan secara efektif.Sebagai contoh, di dalam perjanjian Indonesia dan Singapura tanggal 27 tahun2007 .Ketentuan tersebut diperkuatPasal 2 ayat (4) yang menegaskan bahwa, perjanjian ini dapat berlaku surut 15(lima belas) tahun, sejak perjanjian ekstradisi ini berlaku efektif. Kedua ketentuan tsb tersurat memberikan kesempatan kepada Indonesia untuk mengusut kembali para pelaku kejahatan termasuk korupsi masa lampau.Namun demikian ketentuan yang tampak “menguntungkan” Indonesia tersebut dikesampingkan oleh banyaknya kewajiban masing-masing negara terutama Indonesia untuk dapat melaksanakan perjanjian ini secara efektif.
Kekecualian terhadap syarat penolakan yang bersifat wajib terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) huruf g, masih dapat dikecualikan, yaitu, jika masih ada jaminan seorang tersangka/terdakwa memperoleh kesempatan untuk hadir di persidangan, dan kedua jikapun yang bersangkutan diserahkan, yang bersangkutan masih berhak(entitled) untuk diadili kembali. Ketentuan tersebut justru bertentangan denganprinsip ne bis in idem (non-bis in idem)sebagaimana diatur di dalam Pasal 76 KUHP Indonesia, khususnya bagi pelaku kejahatan yang telah memperoleh putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.

Perjanjian antara Indonesia dan negara Anggota Asean termasuk Singapura di dalam “Treaty on Mutual Legal Assistance in Criminal Matters” (AMLA) yang telah ditandatangani pada tanggal 29 November 2004 yang lalu, ternyata juga tidak memberikan keuntungan atau kemanfaatan untuk Indonesia untuk pemulangan aset hasil kejahatan masa lampau kecuali para pelakunya melalui perjanjian ekstradisi. Hal ini disebabkan karena Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (BTBMP)tsbtidak berlaku surut khususnya untuk permintaan penyitaan dan pengembalian aset hasil kejahatan termasuk korupsi BLBI dan kejahatan lainnya. Pasal 22 ayat (3) di bawah judul, “Assistance in Forfeiture Proceedings”, ditegaskan, “A request for assistance under this Article shall be made only in respect of orders and judgments that are made after the coming into force of this Treaty”.

Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana kedua negara tidak dapat mengembalikan aset korupsi dan kejahatan lainnya termasuk BLBI yang disimpan di Singapura, apalagi isi perjanjian ini pun tidak dapat direservasi (diubah atau ditolak)oleh kedua negara, yang dimuat secara eksplisit dalam Pasal 29, “The Treaty shall not subject to reservations”.

Berdasarkan kepada kedua perjanjian kerjasama penegakan hukum, yaitu Perjanjian Ekstradisi antara Indonesia dan Singapura (2007) dan Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana (tahun 2004) dapat dinyatakan bahwa, pertama, telah terjadi inkonsistensi kebijakan politik pemerintah kedua negara dalam menyikapi pentingnya kedua perjanjian tsb bagi kedua belah pihak terutama dilihat dari kepentingan Indonesia. Kedua,perjanjian tersebut secara nyata hanya memiliki keuntungan yang bersifat prospektif, tidak retroaktif, bagi Indonesia untuk mengejar para pelaku kejahatan dan pengembalian aset hasil kejahatan.Untuk tujuan pengembalian aset hasil kejahatan termasuk korupsi dan BLBI serta kejahatan lainnya, pihak Indonesia menyetujui pemberlakuan surut (non-retrokatif) dalam perjanjian BantuanTimbal Balik dalam Masalah Pidana, sedangkan terhadap pemulangan pelaku kejahatannya dengan perjanjian ekstradisi, pihak Indonesia menyetujui pemberlakuan surut sampai 15 (limabelas) tahun lamanya.

Solusi dari masalah yang dihadapi dengan kedua perjanjian tsb perlu disikapi dengan tetap merujuk kepada prinsip-prinsip umum yang diakui dalam hukum perjanjian internasional, yaitu prinsip “pacta sunt servanda”, “equality of states”, “territorial integrity”, dan prinsip “non-intervention”.Selain itu juga penting dilihat sejauh manakah prinsip resiprositas telah diatur secara seimbang (equal) di dalam kedua perjanjian tersebut..Apalagi jika perjanjian ekstradisi telah diterima menjadi satu paket dengan perjanjian pertahanan antara Indonesia dan Singapura. Solusi kedua, perlu merujuk kepada ketentuan penutup khususnya mengenai ketentuan masa berlakunya kedua perjanjian tersebut dan tidak adanya larangan untuk menarik diri dari kedua perjanjian tersebut sebagaimana dimuat dalam Pasal 31 ayat 3 Perjanjian Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, dan Pasal 19 ayat 2 Perjanjian Ekstradisi. Salah satu jangkauan kedepan dalam hubugan kedua negara (Singapura dan Indonesia) adalah, bahwa Singapura tidak akan lagi menjadi negara pelindung kejahatan dan pelaku kejahatan asal Indonesia (no safe haven principle), dan sikap saling mencurigai antara kedua negara dalam konteks pencegahan dan pemberantasan kejahatan tidak akan terjadi lagi termasuk Singapura yang dianggap sebagai tempat penyimpanan aset kejahatan dari Indonesia. Sikap ini akan menghilang jika Singapura konsisten melaksanakan kedua perjanjian tsb dengan dilandaskan prinsip “pacta sunt servanda”. Dampak sampingan positip di dalam negeri Indonesia adalah akan menjadi dorongan semangat untuk bekerja sama dengan pihak Singapura yang juga harus disertai pembenahan-pembenahan serius sistem pengadministrasian penegakan hukum, sistem koordinasi, monitoring dan evaluasi penegakan hukum antara instansi penegak hukum satu sama lain.

Dalam rangka pelaksanaan ekstradisi yang tidak mungkin dilakukan dalam hal belum ada perjanjian internasianol kedua negara, maka Polisi dengan prinsip resiprocal, best practice joint cooperation police to police, dapat melakukan kerjasama praktis melalui Handling Over , joint investigation maupun kegiatan lainnya, dengan berbekal hubungan baik antar polisi, melalui kegiatan Interpol atau NCB.

Adapun perjanjian-perjanjian yang telah dilaksanakan oleh Indonesia adalah :

1. Perjanjian ekstradisi antara lain;
a. Indonesia – Malaysia, UU RI Nomor 9 Tahun 1974
b. Indonesia – Philipina, UU RI Nomor 10 Tahun 1976
c. Indonesia – Thailand, UU RI Nomor 2 Tahun 1978
d. Indonesia – Australia, UU RI Nomor 8 Tahun 1994
e. Indonesia – Hongkong SAR, UU RI Nomor 1 Tahun 2001
f. Indonesia – Republik Korea (Korsel), UU RI Nomor 42 Tahun 2007
g. Indonesia – China, ratifikasi dalam proses.
h. Indonesia – Singapura, ratifikasi dalam proses.
i. Indonesia – UEA, sedang dalam pembahasan.
j. Indonesia – India, sedang dalam pembahasan.

2. Perjanjian Bantuan Hukum Timbal Balik (MLA)
a. Indonesia – Australia, UU RI Nomor 1 Tahun 1999.
b. Asean MLAT (Mutual Legal Assistnce in Criminal Matters Treaty), UU RI Nomor 15 Tahun 2008
c. Indonesia – China, UU Nomor 3 Tahun 2006.
d. Indonesia – Hongkong SAR, ratifikasi dalam proses.
e. Indonesia – Republik Korea (Korsel), ratifikasi dalam proses.
f. Indonesia – UEA, sedang dalam pembahasan.

3. Perjanjian Perampasan Asset
a. Belum ada perjanjian bilateral maupun multilateral.
b. Kerjasama dalam penanganan perampasan asset masih menggunakan mekanisme kerjasama MLA.
c. Dasar hukum permintaan menggunakan UNCAC (UN CONVENTION AGAINST CORRUPTION) dan UNCTOC (UN CONVENTION AGAINST TRANSNATIONAL ORGANIZED CRIME).
D. Perampasan Aset.

Di depan telah disebutkan bahwa masalah Korupsi sangat erat kaitannya dengan aset yang besar, sehingga solusi yang paling penting dalam penanggulangan korupsi adalah masalah Perampasan Aset, yang faktanya Negara kita baru membuat rancangan aturan hukum terkait. Perampasan Aset, tidak terlepas dari pembentukan Unit Perampasan Aset, yang selain membahas organisasi, peran dan tanggung jawabnya serta kemampuannya, tidak kalah penting lagi adalah Kerja sama baik yang bersifat antar lembaga (dalam negeri) maupun kerja sama antar Negara penegak hokum yang akhirnya diikuti dengan pembagian yang adil (asset Sharing). Namun demikian mengingat Ketentuan tentang Perampasan Aset, masih dalam proses pembuatan, maka dalam tulisan ini belum membahas tentang organisasinya.

Berbicara Perampasan aset atau Asset Forfeiture meliputi perampasan terhadap Fasilitas, Peralatan, Properti dan hasil kejahatan yang dapat dilakukan melalui beberapa bentuk perampasan asset, yaitu :

1. Perampasan Administratif atau Administrative Forfeiture, adalah suatu perampasan yang dilakukan dengan methode termudah, cepat dan effisien dan dalam rangka melindungi dan menghindari penyalahgunaan terhadap harta yang akan dirampas. Perampasan ini dapat dilakukan terhadap benda yang bergerak dalam jumlah tertentudengan hak keberatan dari pihak yang asetnya dilakukan perampasan. Keberatan tersebut dilakukan dengan proses pembuktian oleh si pemilik asset yang dirampas Negara. Pelaksanaan perampasan jenis ini wajib dilalui dengan proses Penelusuran Aset (Asset tracing), yang pada dasarnya menjadi tanggung jawab PPATK (untuk transaksi keuangan),dan penyelidikannya dilakukan oleh Penyidik Polri .
2. Perampasan Perdata atau Civil Judicial(acara inrem),adalah suatu perampasan yang hampir sama dengan model perampasan Administratif, tetapi dilakukan atas dasar Penetapan Pengadilan, yang diawali dengan prosedur pengumuman sesuai aturan hukum. Dalam hal ini pemerintah harus menemukan hak kepemilikan atas aset dimaksud dan membuktikan pelanggaran yang terjadi dengan bukti yang cukup (sifat melawan hukum), dilanjutkan dengan permohonan penetapan pengadilan untuk perampasan aset dimaksud. Dalam proses ini, apabila pihak yang asetnya akan dirampas keberatan, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Perdata dan membuktikan bahwa asset yang dimiliki tersebut adalah sah miliknya dan diperoleh dengan cara legal serta dibeli dengan menggunakan uang yang halal pula. Perampasan perdata ini dilakukan terhadap benda-benda yang nyata-nyata hasil kejahatan atau terhadap benda tetap yang diduga diperoleh dari hasil kejahatan.
Di sini Nampak jelas proses acara yang digunakan adalah acara Pembuktian Terbalik atau Pembalikan Beban Pembuktian.

3. Perampasan Pidana atau Criminal Forfeiture (in Personam), yaitu suatu perampasan asset yang dilakukan setelah putusan pengadilan pidana telah mepunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal ini maka proses pidana harus didukung oleh kepastian sumber dana hasil kejahatan, asset adalah hasil kejahatan atau fasilitas atau instrument tersebut digunakan untuk kejahatan, yang dicantumkan dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum. Dalam proses awal Unit perampasan asset dapat bekerja sejak pelaksanaan penyitaan terhadap asset dimaksud. Disamping itu dapat pula dilakukan perampasan terhadap asset pengganti, dalam hal asset kejahatan telah habis, diluar jangkauan atau telah berubah ujud sesuai dengan peraturan perundang-undangan pidana yang menjadi dasar pemidanaan.

4. Pemulihan asset (Asset Recovery), adalah pengembalian asset kepada pihak-pihak yang dirugikan, baik itu perseorangan mapun badan hukum termasuk Negara. Pengembalian ini diberikan hanya sebatas jumlah kerugian yang diderita, artinya segala perubahan harga, bunga dan kenaikan harga merupakan hak dari Unit Perampasan Aset, yang nantinya digunakan untuk kepentingan Lembaga maupun kegiatan penegakan hukum yang tidak tersedia anggarannya oleh APBN. Dalam hal asset yang telah dilelang sebelum putusan pengadilan, tetapi pihak pemilik asset yang dirampas dapat membuktikan kepemilikannya, maka hanya dapat dikembalikan sebesar nilai jual lelang tersebut. Konsep korupsi sebagai penyebab kehancuran sosial mewajibkan koruptor untuk membayar konpensasi kepada rakyat (masyarakat) sebagai pihak yang terdampak, perlu dikembangkan di Indonesia, karena fakta seperti ini terlalu banyak terjadi di Indonesia, seperti kasus Lingkungan Hidup, Penambangan di beberapa wilayah Indonesia atau mungkin juga terkait kasus Lapindo dan lain sebagainya. Hal dimungkinkan dengan adanya contoh penyelesaian kasus korupsi oleh perusahaan Telekomunikasi Prancis atas damapk yang diterima oleh rakyat Kostarika.

Dalam hal asset ada atau disimpan di luar negeri, maka diperlukan kerja sama internasional baik bilateral maupun multilateral dalam rangka perampasan aset, dengan mengacu kepada ketentuan hokum masing-masing, termasuk pembagian asset (asset sharing). Pelaksanaan ini dilakukan dengan mengacu kepada Mutual Legal Assisten on Legal Matters. Proses pembagian asset ini umumnya dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
1. Ketentuan Hukum tempat asset itu berada.
2. Ada atau tidaknya perjanjian Asset Shering diantara kedua Negara.
3. Bentuk dan sifat Kejahatan yang terjadi meliputi kejahatan internasional, hanya di Negara pelaku atau tempat asset disimpan atau kedua Negara.
4. Bantuan penyelesaian yang dilakukan meliputi biaya yang dikeluarkan atau prosentase pembagian asset.
5. Hubungan baik dan,
6. Hal-hal lain yang disepakati.

E. P E N U T U P.

Dari uraian tersebut di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa penanganan kejahatan korupsi tidak cukup diselesaikan oleh negara secara sendiri-sendiri, karena sifat perbuatannya yang menyangkut politik kekuasaan dan ekonomi yang berhubungan dengan kekayaan atau aset , serta masalah lainnya sehingga PBB mengeluarkan konvensi untuk memberantas korupsi melalui UNCAC. Keadaan tersebut jelas membuat penanganannya menjadi bersifat global, perlu kerja sama internasional agar penyelesaian menjadi mudah dan tiap-tiap negara saling bekerja sama untuk memerangi korupsi. Untuk pelakasanaan kerjasama internasional tersebut, diperlukan kesamaan pandang diantara negara-negara tentang Tindak Pidana Korupsi, sebab jika ada perbedaan persepsi akan menjadikan kendala dalam kerja sama tersebut, baik dalam penyerahan tersangka, lebih-lebih untuk perampasan aset yang umumnya nilainya besar.

Adapun kendala dan hambatan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan kerja sama internasional untuk memerangi korupsi tersebut antara lain :

1. System hukum masing-masing negara yang berbeda, dalam hal salah satu dari negara yang akan melakukan kerja sama belum meratifikasi konvensi atau belum mengharmonisasikan peraturannya dengan konvensi PBB Anti Korupsi (UNCAC). Selain itu dapat terjadi karena system hukum Continental yang dianut Indonesia berbeda dengan system hukum negara lain yang menggunakan system hukum Anglo Saxon. Perbedaan ini dapat menciptakan hambatan dalam praktek, karena cara pandang dan penjabaran UNCAC dengan mengacu kepada system hukum masing-masing, sehingga penanganan masing-masing negara dilakuikan dengan cara dan dasar berpijak yang berbeda.
2. Interest Politik juga dapat berpengaruh besar, karena suatu negara bisa sangat berkepentingan terhadap adanya korupsi di negara lain, misalnya untuk melemahkan, sehingga bukan ancaman serius bagi negara tersebut.

3. Interest ekonomi juga merupakan hambatan penting, karena ada negara yang malah memanfaatkan keadaan tersebut dengan menciptakan negaranya sebagai penadah atau penampung hasil korupsi untuk menghidupkan negaranya.

4. Belum diratifikasinya kerjasama internasional (Ekstradisi) dengan Singapura terkait permintaan Singapura menggunakan wilayah udara Indonesia.

Sekian dan terima kasih , wassalam

Tinggalkan komentar