MEMORI KASASI

ATAS

PUTUSAN PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA JAKARTA
NO. 65/B/2011/PT.TUN.JKT. TANGGAL 22 AGUSTUS 2011 JO
PUTUSAN PENGADILAN TATA USAHA NEGARA JAKARTA
NO. 86/G/2010/PTUN.JKT. TANGGAL 6 JANUARI 2011

Antara

I KTUT SUDIHARSA, S.H., M.Si. .………………………… PEMOHON KASASI SEMULA PEMBANDING/PENGGUGAT

Lawan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ………………………… TERMOHON KASASI SEMULA TERBANDING/TERGUGAT

Jakarta, 10 November 2011

Kepada

Yth. BAPAK KETUA MAHKAMAH AGUNG RI
MELALUI KEPANITERAAN PENGADILAN
TUN JAKARTA

di

J a k a r t a

Dengan hormat,

Yang bertanda tangan dibawah ini saya: I KTUT SUDIHARSA, S.H., M.Si, pekerjaan Wakil Ketua (diberhentikan) Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), bertempat tinggal di Jalan YRS IA No. 2 Rt.011/009 Bintaro, Pesanggrahan Jakarta Selatan, untuk selanjutnya disebut PEMOHON KASASI semula PEMBANDING/PENGGUGAT, dengan ini hendak menandatangani dan mengajukan Memori Kasasi atas Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (TUN) Jakarta No. 65/B/2011/PT.TUN.JKT tanggal 22 Agustus 2011 melawan Presiden Republik Indonesia, berkedudukan di Istana Negara, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat selaku TERMOHON KASASI semula TERBANDING/TERGUGAT.

Bahwa PEMOHON KASASI telah menyatakan Kasasi terhadap Putusan Pengadilan Tinggi TUN Jakarta No. 65/B/2011/PT.TUN.JKT tanggal 22 Agustus 2011 sebagaimana tertuang dalam Akta Permohonan Kasasi tanggal 7 November 2011 di Kepaniteraan Pengadilan TUN Jakarta. Oleh karena pernyataan atau permohonan Kasasi ini disampaikan masih dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sebagaimana diatur dalam Undang-Undang, maka pernyataan/permohonan Kasasi ini seyogianya dapat diterima.

Bahwa Pengadilan Tinggi TUN Jakarta telah memutus perkara Nomor : 65/B/2011/PT.TUN.JKT. tanggal 22 Agustus 2011 dengan amar putusan sebagai berikut :
MENGADILI

– Menerima Permohonan Banding dari Penggugat/Pembanding;
– Membatalkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor: 86/G/2010/PTUN.JKT.tanggal 6 Januari 2011 yang dimohonkan banding, dan dengan;
MENGADILI SENDIRI

Dalam Eksepsi:
– Menerima eksepsi Tergugat/Terbanding;

Dalam Pokok Perkara:
– Menyatakan gugatan Penggugat/Pembanding tidak diterima;
– Menghukum Penggugat/Pembanding untuk membayar biaya perkara di kedua tingkat peradilan yang untuk tingkat banding ditetapkan sebesar Rp 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah);

Bahwa PEMOHON KASASI, tidak dapat menerima Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (TUN) Jakarta, karena pemohon berpendapat bahwa Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (TUN) Jakarta telah salah menerapkan hukum dan tidak melaksanakan hukum acara yang berlaku. PEMOHON KASASI sangat keberatan atas putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (TUN) Jakarta baik pertimbangan hukumnya maupun amar putusannya sebagaimana tersebut di atas, dengan alasan-alasan sebagai berikut :

1. Bahwa PEMOHON KASASI sangat tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi TUN Jakarta sebagaimana tertuang dalam Putusan Nomor: 65/B/2011/PT.TUN.JKT. tanggal 22 Agustus 2011 pada halaman 11 paragraf 3 dan 4, berbunyi:

Menimbang, bahwa UU Nomor 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban berdasarkan pertimbangan;

a. bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi dan/atau korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana;

b. bahwa penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan Saksi dan/atau Korban disebabkan adanya ancaman, baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu;

c. bahwa sehubungan dengan hal tersebut, perlu dilakukan perlindungan bagi saksi dan/atau korban yang sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana;

d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu membentuk Undang-Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka keputusan TUN obyek sengketa tidak termasuk dalam pengertian Keputusan TUN menurut Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

Bahwa kesimpulan/pendapat Majelis Hakim Tinggi TUN yang menyatakan obyek sengketa tidak termasuk dalam pengertian Keputusan TUN berdasarkan pada pertimbangan sebagaimana huruf a, b, c dan d di atas agak aneh dan janggal, karena pertimbangan tersebut tidak menyentuh obyek sengketa, karena permasalah TUN ini tidak terkait dengan pembentukan Lembaga Negara LPSK, tetapi masalah Pemberhentian Anggota LPSK, dalam hal ini PEMOHON KASASI yang diberhentikan tanpa alasan sama sekali, tetapi dianggap telah melanggar Kode Etik tanpa sidang Kode Etik, dianggap melakukan perbuatan tercela untuk tindakan hanya Menerima surat Permohonan Perlindungan saksi dari sdr ANGGORO WIDJAYA yang belum ditindak lanjuti, karena pemohon pertlindungan saksi ada di Luar negeri. Keputusan KTUN obyek sengketa diterbutkan oleh Presiden dalam bentuk KEPPRES (Keputusan TUN) tanpa prosedur hukum yang berlaku yaitu yang sudah diatur dengan terang benderang oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yaitu melalui Sidang Paripurna LPSK yang tidak pernah dilaksanakan.

2. Bahwa PEMOHON KASASI juga sangat tidak sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim Tinggi TUN dalam putusannya pada halaman 12 paragraf 3 dan 4, berbunyi:

Menimbang, bahwa oleh karena obyek sengketa tidak termasuk dalam pengertian keputusan TUN menurut Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 karena merupakan keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang bersifat pidana, dengan demikian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta menyatakan tidak berwenang memeriksa dan memutus sengketa ini dan dengan demikian pula Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta tidak sependapat dengan pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama yang menolak eksepsi Tergugat, karena obyek sengketa dalam perkara ini termasuk dalam pengertian keputusan TUN sesuai dengan ketentuan Pasal 2 huruf d UU Nomor 5 Tahun 1986, oleh karena itu eksepsi Tergugat dapat diterima;

Menimbang, bahwa oleh karena eksepsi Tergugat/Terbanding diterima maka Peradilan TUN tidak berwenang menerima dan memeriksa sengketa ini;

Bahwa Majelis Hakim Tinggi TUN Jakarta tidak melihat secara cermat latar belakang terbitnya keputusan TUN obyek sengketa yang bersumber dari Keputusan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Nomor: Kep-034/I/LPSK/12/2009 tanggal 1 Desember 2009 tentang Pembentukan Tim Etik LPSK dan Nomor: KEP-035/I/LPSK/12/2009 tanggal 1 Desember 2009 tentang Pembebastugasan Sementara atas nama I KTUT SUDIHARSA dan MYRA DIARSI Guna Kepentingan Proses Pemeriksaan Tim Etik LPSK (sepanjang a.n. I KTUT SUDIHARSA) yang sarat dengan abuse of power. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan tentang Eksepsi TERMOHON KASASI pada saat gugatan yang dapat kami jelaskan dengan terang benderang sebagai berikut :
a. Bahwa Tim Etik (bukan Dewan Etik), dianggap sebagai Badan Peradilan TIM ETIK serta dianggap termasuk bersifat Pidana oleh TERMOHON KASASI dalam eksepsi Tergugat adalah sangat Keliru dan tidak mengacu peraturan perundang-undangan dan Ilmu Hukum yang memadai. Hal tersebut pasti bertentangan dengan pengertian Badan Peradilan sebagaimana diatur dalam bab II Pasal 10 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi:
Ayat (1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Ayat (2) Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
Jadi TIM ETIK, mau dimasukkan ke peradilan yang mana ? Selain tidak jelas asal usulnya, tidak dikenal dalam khasanah hukum, juga tidak termasuk badan peradilan, lebih-lebih seluruh pelaku bukan penegak hukum, bahkan karena menggunakan contoh surat dakwaan harusnya institusi kejaksaan menegurnya (baca UU Mahkamah Agung (No. 14/85 jo no. 5/2004) dan UU Mahkamah Konstitusi UU No. 24/2003).

b. Bahwa bila dihubungkan dengan Pasal 2 huruf d dan e UU No. 5 Tahun 1986, sebagaimana dirubah dan diperbarui dengan UU No 9 Tahun 2004 (maksudnya tentang Perubahan tentang Peradilan Tata Usaha Negara) jo UU No. 51 Tahun 2009 (Maksudnya tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), adalah sangat tidak berdasar dan keliru, karena TERMOHON KASASI dahulu TERGUGAT tidak mengerti penjelasan pasalnya yang jelas selalu diikuti dengan kalimat “……..Putusan pengadilan perdata yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap …” Atau ……setelah menerima usul Ketua Pengadilan…….dst.
Maksudnya jelas bukan LPSK, atau Ketua LPSK atau TIM ETIK yang disamakan dengan badan peradilan, karena tidak jelas keluarannya apakah Putusan, atau Keputusan ataukah hanya rekomendasi yang pasti tidak mempunyai kekuatan hukum tetap dan kepastian hukum.

c. Hasil TIM ETIK tanpa memeriksa PEMOHON KASASI yang berupa dugaan pelanggaran yang bahkan ada pelanggaran Pidana Militer Insubordinasi yang Anggota Polisi saja tidak dapat dituntut pasal tersebut, kesemuanya diluar peraturan Kode Etik LPSK dan berisi rekomendasi saja, sebelum menyatakan putusan TIM ETIK (yang tidak ada Putusannya) sebagai produk Badan Peradilan dan bersifat pidana pula.

d. Menyatakan Badan Peradilan tersebut adalah TIM ETIK yang dibentuk atas dasar Keputusan Ketua LPSK yang menghubungkannya dengan Pasal 6 ayat (2) Perpres No. 30, adalah Keliru dan sangat menyimpang dari pemahaman ilmu hukum. Hal tersebut karena pengertian Badan Peradilan sudah diatur dengan jelas dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang berbunyi:
Ayat (1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Sedang Ketua LPSK tidak berwenang untuk membentuk Badan Peradilan. Keputusan Ketua LPSK hanya TERBATAS untuk Surat Printah Pemeriksaan dalam Sidang Paripurna, jika dikaitkan dengan Pasal 6 ayat (2) Perpres No. 30. Sidang paripurna tersebut bukanlah suatu Majelis peradilan, tapi suatu rapat yang sangat formal dan lengkap oleh seluruh Anggota LPSK, seperti Sidang Paripurna DPR dsb yang bukan berbentuk badan peradilan.

3. Bahwa pendapat Majelis Hakim Tinggi TUN Jakarta dalam pertimbangannya pada halaman 12 paragraf 3 dan 4 tersebut di atas, yang menyatakan bahwa obyek sengketa tidak termasuk dalam pengertian keputusan TUN menurut Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 karena merupakan keputusan TUN yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lain yang bersifat pidana, patut dipertanyakan, karena faktanya sampai dengan saat ini PEMOHON KASASI tidak pernah menjadi tersangka atau PEMOHON KASASI tidak terbukti melakukan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan lain yang bersifat pidana sebagaimana dimaksud Pasal 2 UU Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Untuk lebih jelasnya akan diuraikan Peraturan terkait dan penjelasannya sebagai berikut:
a. Bahwa menunjuk peraturan yang bersifat pidana itu adalah Pasal 24 huruf e dan f UU No. 13 Tahun 2006 jo Pasal 4 ayat (1) huruf e dan f Perpres No. 30, adalah khusus yang huruf f dapat diterima, karena pasal tersebut dengan jelas menyebut pelanggaran PIDANA, namun demikian harus dibuktikan terlebih dahulu dalam proses sidang pengadilan pidana dan telah diputus bersalah dan putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedang untuk selebihnya yaitu huruf e, diperlukan kesepakatan seluruh Anggota LPSK dalam suatu Peraturan LPSK, sebagaimana perintah Pasal 6 ayat (4) Perpres No. 30 berbunyi: “Ketentuan mngenai tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan LPSK.
b. Bahwa Peraturan Perundang-undangan lain yang bersifat “pidana” vide Pasal 2 huruf d (maksudnya UU UU No 9 Tahun 2004 tentang Perubahan UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara jo UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara), dimaksud adalah Pasal 24 huruf e dan f UU Nomor 13 Tahun 2006 jo Pasal 4 ayat (1) huruf e dan f Perpres No. 30, adalah sangat keliru, karena sebagaimana diterangkan oleh penjelasan pasal dimaksud. Untuk lebih jelas akan makna pasal dimaksud, baik kiranya kita kutip bunyi pasal dan penjelasan pasal dimaksud sebagai berikut:

Pasal 2 huruf d UU tentang TUN, berbunyi „Tidak termasuk dalam pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang Undang ini:
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan KUHP dan KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana.
Dalam penjelasannya disebutkan
1) Berdasarkan ketentuan KUHP, seperti pelanggaran lalulintas (Pasal 359 KUHP dll), maka untuk melaksanakan hukumannya (Pasal 14 huruf d KUHP) dikeluarkan KTUN dst….
2) Berdasarkan ketentuan KUHAP, mis dalam KTUN Printah Penahanan, Penyitaan sesuai pasal-pasal KUHAP.

c. Jadi jelas dimaksudkan bukan TIM ETIK, atau produk LPSK atau Ketua LPSK yang adalah bukan aparat penegak hukum, lebih-lebih PEMOHON KASASI tidak pernah tersangkut masalah pidana atau tidak pernah melanggar hukum, bahkan dipanggil atau diperiksa sebagai tersangka seumur hidup pun tidak pernah

4. Bahwa pertimbangan Majelis Hakim Tinggi TUN Jakarta dalam putusan perkara Nomor: 65/B/2011/PT.TUN.JKT tanggal 22 Agustus 2011 menggambarkan suatu kemunduran hukum, seharusnya Majelis Hakim Tinggi TUN Jakarta memperhatikan alasan diajukannya Permohonan Banding dari PEMOHON KASASI. Adapun alasan Permohonan Banding tersebut adalah:

a. Bahwa PEMOHON KASASI sangat keberatan dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Jakarta Nomor: 86/G/2010/PTUN.JKT tanggal 6 Januari 2011 dan tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan TUN Jakarta yang hanya melihat pada produk “instan” dari LPSK, dan sama sekali tidak melihat latar belakang munculnya produk “instan” tersebut. Sedangkan munculnya produk “instan” itu sangat didominasi faktor kesewenangan, emosional serta rasa takut yang berlebihan, dan mengabaikan prinsip-prinsip hukum yang ada.

b. Bahwa salah satu produk “instan” tersebut adalah “Tim Etik” berdasarkan Surat Keputusan Ketua LPSK Nomor: Kep-034/I/LPSK/12/2009 tanggal 1 Desember 2009 tentang Pembentukan Tim Etik LPSK, yang mekanisme kerjanya tidak jelas karena memang belum ada aturannya. Kemudian menyadari akan kelemahan itu setelah pembentukan Tim Etik tersebut, LPSK menerbitkan Peraturan LPSK Nomor: 5/2009 tanggal 23 Desember 2009 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Pemberhentian Anggota LPSK, yang diterbitkan secara diam-diam dan tanpa sepengetahuan seluruh Anggota LPSK, yang selanjutnya dijadikan dasar dalam proses pemecatan PEMBANDING dari keanggotaan LPSK.

c. Bahwa Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Nomor: 5/2009 tanggal 23 Desember 2009 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Pemberhentian Anggota LPSK, yang diterbitkan secara diam-diam dan tanpa sepengetahuan seluruh Anggota LPSK (saat itu Pemohon dan Anggota LPSK Myra Diarsi MA masih aktif). Sehingga peraturan tersebut merupakan produk yang tidak sah, terlebih karena tidak sesuai dengan printah Pasal 24 UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban juncto Peraturan Presiden Nomor 30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pemberhentian Anggota LPSK, khususnya tentang kewajiban membentuk Sidang Paripurna. Faktanya Rapat Paripurna yang merupakan wadah untuk mengambil keputusan terhadap permohonan perlindungan, dianggap sebagai Sidang Paripurna yang adalah untuk menentukan pemberhentian Anggota LPSK, yang berdampak terjadinya kesewenang-wenangan.

d. Tidak Sahnya Peraturan LPSK Nomor: 5/2009 tanggal 23 Desember 2009 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Pemberhentian Anggota LPSK tersebut lebih jelas lagi, karena tidak dijadikan dasar pembentukan Majelis Pemeriksa yang ditetapkan berdasarkan keputusan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor: KEP-12/I/LPSK/2/2010, tentang pembentukan Majelis Pemeriksa dan Perangkat Sidang Paripurna atas dugaan perbuatan tercela yang dilakukan oleh I Ktut Sudiharsa dan Myra Diarsi, yaitu setelah terbitnya Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor: 5/2009 tersebut. Hal tersebut menimbulkan tanda Tanya besar, apakah benar tanggal 23 Desember 2009 itu sebagai tanggal terbitnya Peraturan LPSK Nomor: 5/2009? Mengapa LPSK sendiri tidak menggunakannya sebagai dasar agar Keputusan pemberhentian PEMOHON KASASI tersebut menjadi kronologis?

e. Tanpa disadari LPSK bahwa dengan menerbitkan Peraturan LPSK Nomor: 5/2009 tanggal 23 Desember 2009 dan langsung digunakan dalam proses pemecatan PEMOHON KASASI dari keanggotaan LPSK adalah suatu bentuk kesewenangan hukum dan pelanggaran hak azasi manusia (HAM). Kenyataan ini menunjukkan bahwa LPSK sama sekali tidak memperhatikan Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik (good gouvernance). Walaupun dipermukaan terlihat seolah-olah proses pemecatan PEMOHON KASASI tersebut sudah benar dan telah didasarkan pada peraturan yang berlaku, padahal itu merupakan suatu pembodohan dan pembohongan terhadap publik. Dengan demikian apakah layak PEMOHON KASASI memenuhi undangan-undangan dari Tim Etik ataupun Majelis Pemeriksa yang “notabene” merupakan produk “instan” itu.

f. Bahwa PEMOHON KASASI sangat keberatan dengan pendapat/ pertimbangan hukum Majelis Hakim perkara aquo dalam putusannya dengan membuat kronologis kasus dengan menyusun fakta-fakta berdasarkan urutan tanggal, sebagaimana dimuat dalam halaman 67 sampai dengan halaman 73 Putusan. Hal tersebut dikarenakan akan menimbulkan kronologis yang sesuai kemauan majelis untuk membuat pertimbangan hukumnya menjadi sangat materiil. Fakta disusun dengan mengkaitkan bukti-bukti yang diajukan, tetapi beberapa fakta dikaitkan dengan satu bukti, sehingga seolah-olah susunan fakta tersebut benar adanya. Padahal fakta yang satu konteksnya tidak sama dengan fakta yang lain walau tanggal berurutan, maknanya tidak berurutan, namun dibuat seolah berurutan sesuai konteks tertentu yang diharapkan oleh majelis. Tindakan majelis jelas menciptakan kronologis yang salah, serta memindahkan makna tujuan peradilan Tata Usaha Negara yang mengadili masalah formal dan administrasi yang dikaitkan dengan Tata Kelola Pemerintahan yang baik (Good Gouvernance).

g. Bahwa PEMOHON KASASI tidak sependapat dengan pendapat/pertimbangan hukum Majelis Hakim perkara aquo dalam putusannya pada halaman 75 alinea kedua, tentang alasan pemberhentian Penggugat yang sesuai objek perkara terbukti telah mencantumkan alasan pemberhentian yakni karena Penggugat dinyatakan telah terbukti melakukan perbuatan tercela, karena telah mencemarkan martabat dan reputasi dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas LPSK. Karena semua tuduhan tersebut hanyalah kalimat yang tidak pernah dibuktikan oleh LPSK, bahkan Temuan Tim etik halaman 75 alinea 3, juga temuan Tim Penemu Fakta, halaman 76 tidak ada artinya, karena gugatan diajukan terhadap ketidaksahan TIM ETIK dan Tim Penemu Fakta yang tidak ada aturan keberadaannya, sehingga apapun yang diputuskan tidak mempunyai nilai hukum sama sekali. Sehingga Pengadilan TUN Jakarta sebagai pengadilan yang diharapkan dapat menilai tidak menjadikan dasar putusannya dari isi rekomendasi Tim-Tim yang tidak sah tersebut.

h. Bahwa PEMOHON KASASI sangat tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Pengadilan Tata Usaha Negara (TUN) Jakarta dalam putusan perkara aquo yang justru membenarkan atas terbitnya Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor: 5/2009 tanggal 23 Desember 2009 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Pemberhentian Anggota LPSK, bahkan dijadikan salah satu dasar dalam pertimbangan hukumnya sebagaimana dinyatakan pada halaman 76 paragraf terakhir sampai dengan paragraf pertama dan paragraf kedua halaman 77, berbunyi:

“Menimbang, bahwa Penggugat tidak pernah datang menghadiri undangan panggilan Tim Etik dan Majelis Pemeriksa (bukti P-6, P-7, P-8, P-9), padahal itu merupakan kewajiban Penggugat seperti yang ditentukan oleh Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5/2009, Pasal 6 yang menentukan: Terperiksa berkewajiban untuk menghadiri sidang paripurna, memberikan keterangan untuk memperlancar pemeriksaan yang telah diatur maupun hal-hal lain yang telah diputuskan oleh rapat paripurna, justru Penggugat mengirimkan berbagai tanggapan tertulis (bukti P-7, P-8 dan P-9) bukan menolak segala tuduhan tersebut melainkan justru menolak eksistensi Tim Etik, Tim Penemu Fakta dan Majelis Pemeriksa.

Menimbang, bahwa ketidakhadiran Penggugat memenuhi undangan/ panggilan Tim Etik dan Majelis Pemeriksa dapat diartikan Penggugat melepaskan haknya untuk membela diri dan tidak membantah berbagai temuan tersebut, namun Majelis Pemeriksa tetap memberikan putusan tanpa kehadiran Terperiksa berdasarkan Pasal 10 Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5/2009.

PEMOHON KASASI tidak melihat apa yang menjadi alasan pembenar Pengadilan TUN Jakarta cq. Majelis Hakim yang terhormat yang memeriksa dan memutus perkara aquo atas perberlakuan Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor: 5/2009 oleh LPSK. Apapun alasannya suatu peraturan tidak dapat berlaku surut (retro aktif), kecuali peraturan itu diberlakukan demi keamanan Negara, misalnya Perpu tentang Terorisme.

i. Bahwa PEMOHON KASASI tidak sependapat dengan pendapat/pertimbangan hukum Majelis Hakim perkara aquo dalam putusannya pada halaman 77 paragraf ketiga, berbunyi:

“Menimbang, bahwa majelis hakim tidak sependapat dengan dalil penggugat yang menyatakan bahwa Tim Etik tidak dikenal dalam aturan mengenai LPSK, karena Pasal 6 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 pada pokoknya telah menentukan bahwa pemeriksaan anggota LPSK diselesaikan oleh LPSK melalui KEPUTUSAN SIDANG PARIPURNA, artinya bila telah memutuskan untuk memeriksa Penggugat dilakukan oleh Tim Etik dan Tim apapun namanya adalah sah, karena Sidang Paripurna adalah forum tertinggi LPSK untuk menetapkan sebagai hal termasuk mengisi kekosongan hukum”;

PEMOHON KASASI mempertanyakan kapan dilakukan SIDANG PARIPURNA yang keputusannya adalah untuk mengisi kekosongan hukum itu? Faktanya Sidang Paripurna itu tidak pernah ada, karena memang tidak ada aturannya. Yang pernah dilakukan adalah RAPAT PARIPURNA yang pasti tidak sama dengan SIDANG PARIPURNA. Rapat Paripurna itulah yang membentuk Tim Etik dan Tim-Tim apapun namanya, yang tentunya tidak syah, karena rapat paripurna tidak berwenang membentuk Tim-Tim apapun namanya untuk mengisi kekosongan hukum sebagaimana disebutkan oleh majelis. Mengapa SIDANG PARIPURNA itu pasti tidak ada, karena perintah Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009 tentang pemberhentian Anggota LPSK, yang akan menentukan bentuk dan tugas SIDANG PARIPURNA, belum dibuat oleh LPSK. Bahkan dalam persidangan terjadi kebingungan saksi diajukan dari LPSK tentang hal tersebut, karena kadang menyebut Rapat Paripurna adalah Sidang Paripurna, kadang menyebut Pemeriksaan Majelis Pemeriksa disebut Sidang Paripurna. Keduanya tidak berdasar sama sekali, karena Majelis Pemeriksa mengeluarkan PUTUSAN, bukan KEPUTUSAN.

j. Bahwa PEMOHON KASASI lebih tidak sependapat lagi dengan pendapat/ pertimbangan hukum Majelis Hakim perkara aquo dalam putusannya pada halaman 78 paragraf kedua, berbunyi:

“Menimbang, bahwa Majelis Hakim juga menolak dalil Penggugat yang menyatakan bahwa tindakan Penggugat yang dilakukan sebelum terbitnya Kode Etik dan Tata cara pemeriksaan, aturan itu tidak dapat berlaku surut (retro aktif), karena sebagai ketentuan tertulis walaupun Kode Etik (P-23=T-6) dan Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5/2009 (bukti T-8) yang lahir kemudian, namun harus disadari bahwa di masyarakat dan kehidupan berbangsa dan bernegara telah ada norma yang tidak tertulis yang berlaku universal yang tidak membolehkan profesi apapun melakukan perbuatan tercela dan pelakunya mesti diminta pertanggungjawabannya, sejalan dengan aturan tertulis tersebut, karena pada prinsipnya etika profesi bersifat abstrak yang ada dalam hati nurani dan akal budi, dengan demikian tanpa ada berbagai aturan tertulispun pelanggaran yang dilakukan Penggugat dapat diproses sesuai kesepakatan rapat paripurna sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.

Jika disimak pendapat/pertimbangan hukum di atas, menunjukkan bahwa Majelis Hakim berusaha untuk melakukan pembenaran atas tindakan-tindakan yang dilakukan LPSK dalam proses pemecatan PEMOHON KASASI dari keanggotaan LPSK, tetapi Majelis Hakim Pengadilan TUN Jakarta yang memeriksa dan memutus perkara aquo mungkin lupa/khilaf karena telah memberi pendapat atau membuat pertimbangan hukum sebagaimana tersebut di atas justru merupakan kemuduran hukum. Jika saja LPSK melakukan proses pemecatan atas diri PEMOHON KASASI langsung melalui rapat paripurna sebagaimana pendapat Majelis Hakim di atas atau dengan sedikit menggunakan prinsip-prinsip hukum adat Minangkabau misalnya, mungkin masih bisa dibenarkan. Berbeda dengan apa yang dilakukan LPSK melalui rapat paripurna dengan mantap memberhentikan sementara PEMOHON KASASI, membentuk Tim Etik, Tim Pencari Fakta dan Majelis Pemeriksa dengan melibatkan tenaga/pihak di luar LPSK, tetapi mereka lupa bahwa aturan untuk itu belum ada, sehingga diupayakan dan terbitlah Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor: 5/2009 tanggal 23 Desember 2009 tentang Tata Cara Pemeriksaan dan Pemberhentian Anggota LPSK, yang langsung diterapkan dalam proses pemecatan PEMOHON KASASI, dan ini sangat tidak lazim dan menyalahi prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

k. Bahwa PEMOHON KASASI juga tidak sependapat dengan pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan TUN Jakarta dalam putusan perkara aquo pada halaman 79 paragraf kedua, berbunyi:

“Menimbang, bahwa karena secara substansi tindakan Penggugat telah melanggar berbagai ketentuan hukum tertulis yang terdiri Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 2009, Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 1 Tahun 2009 dan Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 5 Tahun 2009, maka pengujian obyek sengketa menggunakan hukum tidak tertulis (Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik) tidak diperlukan lagi;

Jika pertimbangan hukum di atas sudah dianggap benar, maka tidak ada bedanya Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan-pengadilan lainnya yang mengutamakan kebenaran materiil dari suatu peraturan perundang-undangan. Kebenaran materiil yang diangkat oleh Majelis tidak jelas, perbuatan penggugat (sekarang pemohon) yang mana yang salah dan melanggar pasal yang mana, karena belum ada kesepakatan antara Anggota LPSK tentang pengertian perbuatan “Tercela” dimaksud. Disamping itu seharusnya Pengadilan Tata Usaha Negara tidak hanya menguji kebenaran materiil dari peraturan perundang-undangan yang digunakan untuk menerbitkan obyek sengketa, tetapi juga harus diuji apakah proses penerbitan obyek sengketa tersebut berlandaskan pada Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik atau tidak. Oleh karena tidak diujinya Azas-azas Umum Pemerintahan yang Baik oleh Majelis Hakim Pengadilan TUN Jakarta dalam perkara aquo, maka jelas itu merupakan suatu kekeliruan dan patut pula dipertanyakan kenapa itu tidak dilakukan.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan diatas, PEMOHON KASASI semula PEMBANDING/PENGGUGAT mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim Agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan memutus dengan amar putusan sebagai berikut:

MENGADILI

– Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta No. 65/B/2011/PT.TUN.JKT tanggal 22 Agustus 2011 dan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta No. 86/G/2010/PTUN.JKT tanggal 6 Januari 2011;

MENGADILI SENDIRI

– Menerima Permohonan Kasasi dari PEMOHON KASASI semula PEMBANDING/PENGGUGAT;

– Menyatakan batal atau tidak sah Keputusan TERMOHON KASASI, yaitu Keputusan Presiden Nomor: 39/P Tahun 2010 tanggal 5 April 2010 tentang Pemberhentian Anggota LPSK atas nama I KTUT SUDIHARSA, S.H., M.Si. yang terhitung sejak akhir bulan;

– Mewajibkan kepada TERMOHON KASASI untuk mencabut Keputusannya, yaitu Keputusan Presiden Nomor: 39/P Tahun 2010 tanggal 5 April 2010 tentang Pemberhentian Anggota LPSK atas nama I KTUT SUDIHARSA, S.H., M.Si. yang terhitung sejak akhir bulan;

– Menyatakan segala hal yang dihasilkan dan sebagai akibat dari terbitnya Keputusan TERMOHON KASASI, yaitu Keputusan Presiden Nomor: 39/P Tahun 2010 tanggal 5 April 2010 tentang Pemberhentian Anggota LPSK atas nama I KTUT SUDIHARSA, S.H., M.Si. yang terhitung sejak akhir bulan adalah tidak sah dan/atau batal demi hukum;

– Mewajibkan TERMOHON KASASI merehabilitasi nama baik PEMOHON KASASI dan mengembalikan PEMOHON KASASI pada posisi semula;

– Menghukum TERMOHON KASASI untuk membayar biaya perkara pada ketiga tingkat peradilan.

Apabila Mahkamah Agung RI berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya menurut hukum (ex aequo et bono).

Hormat saya,
PEMOHON KASASI
I KTUT SUDIHARSA, S.H., M.Si.

Tinggalkan komentar