Whistleblower sang pengungkap fakta

OLEH
IKTUT SUDIARSA

PENDAHULUAN.
Whistleblower, n (1970) An employee who reports employer wrongdoing to governmental or law-enforcement agency .
Artinya pada awalnya hanya diperuntukkan bagi karyawan atau pegawai yang melaporkan atasannya yang melakukan kesalahan atau pelanggaran hokum kepada pemerintah atau penegak hokum. Jadi tidak dapat diperlakukan bagi atasan yang melaporkan bawahannya, bahkan tidak juga bagi rekan kerjanya atau sejawatnya, namun sesuai perkembangan zaman yang berubah dengan sangat cepat, batasan tempat yang tak terbatas, subyek pelapor tidak bisa dibatasi sedemikian rupa.
Globalisasi teknologi dan informasi yang tidak bisa kita pungkiri semakin memberi peluang menjamurnya kejahatan, khususnya kejahatan kerah putih. Penyebaran kejahatan yang semakin merata disegala penjuru belahan dunia, sehingga mau tidak mau memaksa kita untuk melakukan upaya-upaya pencegahan dan penindakan terhadap pelanggar hukum. Semakin canggihnya kejahatan dan beragamnya modus operandi kejahatan itu sendiri, akan berbanding lurus dengan kemauan dan kepedulian masyarakat untuk mempertahankan diri ataupun memerangi kejahatan dimaksud. Namun karena kejahatan itu sudah merambah ke sendi-sendi kehidupan bernegara dan pemerintahan, maka mereka yang memerangi kejahatan itupun semakin sadar betapa berbahayanya posisi mereka yang ingin mengungkap fakta-fakta yang diketahuinya itu. Berdasarkan keadaan tersebut maka pihak-pihak yang anti kejahatan, yang berjuang untuk melakukan perobahan kearah kebaikan atau setidaknya membawa kearah keadaan yang normal, akan berusaha melakukan perlawanan, melalui pemberian informasi, tetapi dilakukan dengan tersembunyi atau tidak dengan terang-terangan, agar tidak berhadapan langsung dengan penjahat itu sendiri. Mereka inilah yang disebut dengan “Sang Pengungkap Fakta” atau pihak pelapor, atau pengadu yang dalam bahasa harfiahnya disebut “Peniup peluit pertama” atau yang terkenal dengan nama “Whistleblower”.
Undang-Undang Pencucian Uang menyebut Whistleblower sebagai Pelapor, yaitu orang yang melaporkan adanya tindak pelanggaran, tetapi mungkin ia tidak melihat dan mendengar sendiri pelaksanaan tindak pelaggaran tersebut, tetapi mempunyai bukti-bukti surat atau alat bukti petunjuk (rekaman, gambar, dlsb) bahwa telah terjadi tindak pelanggaran , atau yang menurut Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, disebut Pihak Pelapor, yaitu setiap orang yang menurut Undang-Undang ini wajib menyampaikan laporan kepada PPATK. Sedangkan menurut Komisi Hukum Nasional adalah “Pembocor rahasia” atau “Pengadu”. Dia adalah seorang yang membocorkan informasi yang sebenarnya bersifat rahasia di kalangan dimana informasi itu berada .
Sejarah pengungkap fakta membuktikan bahwa keberanian mereka tidak memperoleh penghargaan, sebaliknya kekhawatiran mereka semakin nyata. Disamping ancaman dari mereka yang diungkap kebobrokannya, juga umumnya mereka akan kehilangan pekerjaannya. Penelitian dari sebuah kelompok yang terdiri dari 233 orang pengungkap fakta di Amerika Serikat (hingga Tahun 1990) , 90 % kehilangan pekerjaan atau diturunkan pangkatnya, 27 % dituntut secara hukum, 26 % mendapat rujukan psikiater atau medis, 25 % menjadi pecandu alcohol, 17 % kehilangan rumah, 15 %, bercerai, 10 % bunuh diri dan 8 % bangkrut.
Jadi Whistleblower, adalah baik saksi maupun tidak saksi, selama dia memiliki informasi yang akurat tentang sesuatu hal, yang dengan bukti dokumen yang menguatkan informasi yang dimiliki, yang diberikan baik karena kewajiban Undang-Undang maupun karena haknya sebagai warga Negara, yang selanjutnya ditetapkan statusnya oleh penyidik, apakah akan dimintakan keterangannya selaku saksi atau tidak, namun dia berhak untuk mendapat perlindungan hokum, sesuai dengan Pasal 84 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan pasal 10 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Di Indonesia, Pengungkap fakta tindak pidana suap di Mahkamah Agung (Endin Tahun 2003/2004) harus dipenjara sebagai Tindak Pidana Pencemaran nama baik atas 3 (tiga) orang Hakim Agung yang terhormat. Ary Muladi, Susno Duadji, beberapa pimpinan PT Masaro, demikian juga Anggodo Widjojo akhirnya terpaksa meringkuk ke dalam tahanan atau penjara, karena bertindak sebagai pengungkap fakta, demikian juga Pengungkap Fakta di Tasik Malaya dimejahijaukan karena melaporkan korupsi dana pendidikan. Di Bengkulu pengungkap fakta korupsi oleh gubernur Bengkulu telah selesai menjalani hukumannya dan banyak lagi pengungkap fakta-pengungkap fakta yang tidak terdata dan saat ini entah ada ditahanan mana atau telah dipenjara dimana, ataukah bahkan telah selesai melaksanakan pidananya.

Arti Pentingnya Whistleblower.

Informasi yang dibocorkan dalam hal ini selalu yang merupakan rahasia yang dapat bermacam-macam jenisnya, tergantung dari asal atau tempat asal dari informasi tersebut. Informasi tersebut dapat berasal dari organisasi yang syah, seperti lembaga pemerintah atau swasta, atau badan hokum tertentu, namun dapat juga berasal dari organisasi tidak sah, seperti Lembaga yang tidak berbadan hokum, sindikat narkotika, perjudian, human trafficking, bahkan organisasi terorisme atau mafia-mafia lainnya. Dapat juga dari perorangan atau kelompok yang diluar organisasi, namun terdeteksi oleh masyarakat telah terjadi pelangaran hokum, atau bahkan dalam rumah tangga atau keluarga, misalnya dalam rumah tangga terkait perkara pelecehan seksual atau kekerasan (KDRT) dan sebagainya. Namun demikian informasi tersebut umumnya disampaikan oleh orang dalam atau bahkan sipelaku atau yang turut serta atau sipenyerta itu sendiri, baik karena kesadaran atau bermotif balas dendam, walau tidak tertutup kemungkinan dilakukan oleh orang luar, atau dari mereka yang tidak termasuk bagian dari kejahatan tersebut.

Dalam hal whistleblower tersebut berasal dari orang dalam atau bagian dari pelaku itu sendiri, akan memberikan kepastian informasi dimaksud yang kebenarannya sangat tinggi, karena pemberi informasi dapat disebut sebagai orang yang mengalami sendiri atau saksi kunci yang akan sangat bermanfaat dalam pengungkapan kasus yang ditangani penyidik. Informasi yang diterima akan dapat membantu mengungkap jaringan kejahatan termasuk organisasi dan pengawaknya, serta kedudukan atau domisili organisasi kejahatannya tersebut, dalam hal organisasinya yang tidak sah. Jika untuk organisasi yang sah, akan membantu penyidik untuk memperoleh kejelasan dan kepastian pelanggaran yang terjadi, disamping itu juga dapat membantu kebijakan Negara dalam hal ini pelaksanaan Good Governance dalam instansi dimaksud.

Iika whistleblower tersebut diciptakan atau direkayasa, dalam artian tindakan penyelidikan yang merupakan salah satu kegiatan penyelidikan, misalnya dengan cara undercover dan interception dalam bentuk kegiatan surveillance bahkan yang lagi marak saat ini yaitu penyadapan, atau dengan melakukan penjebakan, namun yang terakhir ini dilarang oleh Undang-Undang, maka hasil yang dicapai akan sangat bermafaat dalam proses pegungkapan kasus secara tuntas sampai keakar-akarnya. Disamping itu dapat juga dimanfaatkan untuk mengejar dan menelusuri harta kekayaan pelaku, baik yang merupakan hasil kejahatannya, maupun keuntungan yang diperoleh dari kejahatannya tersebut, termasuk aliran dananya. Dengan demikian selain mengungkap sindikat kejahatannya, dapat juga berperan untuk pemulihan harta kekayaan hasil kejahatannya, sehingga penegakan hokum bukan saja untuk menentramkan masyarakat, tapi juga dapat berfungsi mengkayakan Institusi Negara.

Whistleblower atau Justice Colaborator
Pemahaman makna Justice Colaborator dan whistleblower yang lemah, akan membawa Jungkir baliknya proses penegakan hokum di Indonesia. Operasionalisasi Justice Colaborator dan whistleblower dalam proses penegakan hokum di Indonesia yg belum ada aturan bakunya, merupakan bukan proses penegakan hokum Indonesia, tapi mengambil proses Negara lain yang bahkan berbeda system hukumnya, akan berdampak tercabiknya proses penegakan hokum kita yang pada akhirnya melukai rasa keadilan bangsa Indonesia itu sendiri. Sistim hokum continental yang mengedepankan azas dan prinsip hukum “Presumption of innocent” atau praduga tak bersalah yang menjadi prinsip kerja penegakan hokum kita telah diabaikan oleh keterbukaan informasi tak berbudaya. Pembunuhan karakter akan terjadi hanya kepada seseorang yang baru dipanggil sebagai saksi, apalagi kalau sudah diperiksa sebagai tersangka. karena pemberitaan penegakan hukum kita berkiblat kepada hokum Amerika Serikat yang menggunakan system hokum anglo saxon dan prinsip hokum “presumption of guilty” atau praduga bersalah.
Whistleblower atau sang pengungkap fakta terlahir sebagai rasa tanggung jawab masyarakat, kesadaran yang samar-samar akan resiko pribadi atas tindakannya yang memprotes kebijakan, ketidak wajaran, kesewenang-wenangan. Kesemuanya itu gampangnya kita namakan saja kriminalitas yang berkembang dimasyarakat dan tidak adanya kenyamanan warga dalam segala aktifitasnya, bahkan akan dianggap sebagai ketidak setiaan terhadap kehidupan bernegara. Sikap yang deffensif, mempertahankan diri yang berlebihan, walaupun itu merupakan pengejawantahan insting yang kuat dalam organisasi, sikap melindungi institusi atau organisasi sebagai suatu budaya, bahkan dalam institusi penegak hukum seperti penyidik, penuntut ataupun hakim yang sangat menonjol, adalah manusiawi. Kesadaran personil atau pegawai dan warga masyarakat akan hal itu sebagai kendala mendasar, karena mental solidaritas kearah yang buruk itu menjadikan semua akan khawatir untuk bertindak selaku pengungkap fakta walau tujuan pokoknya adalah kebaikan dan kelangsungan organisasi.
Baru-baru ini kita dikejutkan dengan berita, sang pengungkap fakta dijadikan tersangka oleh Polri. Tidak tanggung-tanggung, perwira tinggi polri bintang tiga, Komjen Pol Drs Susno Duadji, SH., MH. diadili karena dianggap perwira yang mambalelo dan saat ini masih dalam tahap Kasasi. Adalah Waode Nurhayati seorang perempuan pemberani mengungkap kebobrokan DPR terkait banggar yang melibatkan hampir seluruh anggota komisi XI DPR RI, diadili di pengadilan tipikor KPK Jakarta. Kini sang pengungkap fakta menunggu nasibnya didepan meja hijau Peradilan Tipikor KPK Jakarta, sunggguh ironis.
Pada saat yang sama KPK berjuang menjadikan dan menganggap terpidana Mindo Rosalina sebagai Justice Colaborator, saudara kembarnya whistleblower, dengan memberikan keringanan hukuman dan kalau perlu membebaskannya dari penjara. Disamping itu ada wacana di media, Tersangka Anggelina Sondakh dipandang sebagai pintu masuk, bisa dirubah jadi Justice Colaborator juga. Jangan lupa dengan terpidana Nazaruddin atau Nunun Nurbaety dan tersangka Miranda Gultom yang bila perlu di Justice Collaboratorkan juga, untuk alasan sebagai KUNCI untuk menemukan sang Big Boss.
Justice Collaboratorkan, dimaknai oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (SE MARI) sebagai pelaku Tindak Pidana tertentu, tapi bukan pelaku utama yang mengakui perbuatannya dan bersedia menjadi saksi dalam proses peradilan, sedang Keputusan bersama , Kejagung, LPSK, Polri dan MARI, menyebutkan sebagai saksi yang juga pelaku, namun mau bekerja sama dengan penegak hokum dalam rangka membongkar suatu perkara bahkan mengembalikan asset hasil kejahatan korupsi yang ada padanya.

Berani karena Negara Melindungi
Melihat semakin membudayanya korupsi, pencucian uang dan kejahatan yang bernilai uang yg besar di Negara ini,yang sebenarnya merupakan prilaku pejabat Negara yang tidak punya malu dan bukan budaya bangsa. Oleh karena itu keberanian masyarakat untuk melawan dengan melaporkan kejahatan dimaksud merupakan harga mati, namun tidak semua punya keberanian, apalagi masyarakat kecil berhadapapan denagn aparat Negara atau penegak hokum. Keberanian ini wajib ditumbuh kembangkan, dibangkitkan, didorong, dipupuk dan dipelihara, bahkan diberi penghargaan dan tentunya Negara menjamin perlindungan kepada masyarakat pemberani tersebut. Bentuk perlindungan nnegara bisa bermacam-macam, seperti memberdayakan LPSK, memperkuat Undang-Undang perlindungan, termasuk memasukkan perlindungan terhadap sang pengungkap fakta atau whistleblower, menentukan standar yang baku untuk dapat perlindungan, sehingga perlindungan tidak dijadikan alat transaksional kembali oleh pejabat korup tersebut.
Disamping itu sosialisasi terhadap peraturan yang ada, agar masyarakat mengetahui dan aktif berperanserta menjadi whistleblower, karena semua komponen akan mendukungnya, sedang penegak hokum tidak mengkriminalisasikan mereka atau sebaliknya menjadikan alat negosiasi. Karena semakin banyaknya masyarakat Indonesia yang berani bersaksi, karena pemahaman terhadap sang pengungkap fakta sudah menyeluruh, maka kejahatan kerah putih akan segera dapat ditanggulangi, karena whistleblower bagai orang ketiga dalam yang mengawasi bila ada konspirasi pejabat Negara dan penegak hokum dengan pihak-pihak tertentu yang berkepentingan.
Selesai.

Tinggalkan komentar