Existensi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Untuk Perkara Pelanggaran Hak Asasi Manusia

I. Pendahuluan
“Korban dalam pelanggaran hak asasi yang berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, juga berhak untuk mendapatkan :
a. Bantuan Medis ; dan
b. Bantuan rehabilitasi psiko-sosial .

Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban dengan tegas mengatur tentang bantuan yang akan diberikan LPSK kepada korban pelanggaran ham yang berat, disamping bentuk perlindungan yang diatur dalam pasal 5 ayat (1) UU PSK . Hal mengenai bantuan telah disusun SOP nya dan diharapkan dalam bulan Juni ini akan disyahkan sehingga dengan segera dapat dilaksanakan. Setiap putusan Komnas Ham tentang telah terjadi pelanggaran Ham yang berat dapat diikuti dengan proses pemberian bantuan oleh LPSK, namun fungsi LPSK hanya sebagai fasilitator sampai terbitnya penetapan tentang Kompensasi, penyampaian dan penyerahan uangnya kepada korban. Oleh karena itu pada saat korban kasus LAPINDO datang ke LPSK, kita memang tidak dapat membantu untuk kasus perdata mereka, tapi bilamana Komnas Ham menyatakan atau menetapkan telah terjadi pelanggaran Ham yang berat, maka LPSK akan dengan sendirinya dapat melakukan tugasnya sesuai dengan pasal 6, 7 dan 8 UU PSK.
Dan hal ini telah ditangkap dengan baik oleh Kapolri, sehingga pada pertemuan LPSK dengan Kapolri pada hari Jumat, tanggal 21 Mei 2009, Kapolri mengharapkan adanya MoU oleh 3 (tiga) lembaga negara yang terkait dengan penegakan hukum dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia, yaitu Polri, LPSK dan Komnasham.

Disadari bahwa Undang-Undang Perlindungan Saksi Korban memang tidak sempurna, bahkan banyak sekali kekurangannya, seperti tidak jelasnya pemisahan perlindungan dan bantuan, pemberian restitusi harus dibayar oleh pelaku, tidak jelas pemisahan kasus pelanggaran ham yang berat dan perkara lainnya, keterbatasan tindak pidana yang diatur dalam pasal 5 ayat (2), tidak diaturnya perbuatan pasip atau yang dikenal dengan perbuatan pembiaran, lebih-lebih kalau dilihat tentang SDM dan hak-haknya yang belum diatur, bahkan aturan payungnya pun tidak ada, kedudukan sekretaris yang bukan sekretaris jenderal. Juga tentang batas waktu satu minggu bagi LPSK untuk menetapkan jenis perlindungannya tanpa pengecualian dan kekhususan terhadap keadaan darurat, demikian juga bagi pemohon yag dibatasi waktu satu minggu juga dalam hal perbaikan, adalah kendala yang harus ditangani oleh LPSK. Dan yang paling penting lagi adalah komitmen Pemerintah, aparat penegak hukum dan institusi pemerintah lainnya yang terkait dalam pelaksanaan perlindungan saksi dan korban, karena LPSK tidak bisa bekerja tanpa dukungan dan komitmen mereka, seperti disebutkan dalaqm teori Edwin M. Schur, dalam Law and Society: yang memastikan perlunya kerjasama dan komitmen dimaksud , yang menyebutkan Mekanisme hukum tidak bisa sempurna keefektifannya dalam mendukung dan mendorong perubahan sosial. \

Diperlukan beberapa prosedur, tindakan dan tahapan-tahapan, dari pemahaman peraturan yang datangnya dari masyarakat, adanya tempo, komitmen dan penerapan hukuman dan apresiasi bagi penegak hukum yang mengabaikan atau melaksanakan dengan konsisten bentuk-bentuk perlindungan saksi dan korban sesuai dengan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Pasal 36 ayat (2) menyebutkan :
Dalam melaksanakan Perlindungan dan Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), instansi terkait sesuai dengan kewenangannya wajib melaksanakan keputusan LPSK sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Bunyi pasal diatas menegaskan bahwa kewenangan perlindungan saksi dan korban sepenuhnya menjadi tanggung jawab LPSK, dan setiap aparat penegak hukum wajib melaksanakannya, dan apabila melalaikannya diancam dengan sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 42 yang berbunyi :
Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 37, pasal 38, pasal 39, pasal 40, pasal 41 dilakukan oleh pejabat publik, ancaman pidananya ditambah dengan 1/3 (satu per tiga)

Adanya pasal diatas diharapkan mampu untuk menghentikan budaya penyalahgunaan wewenang yang selama ini menjadi trade mark para aparat penegak hukum yang akan berdampak kepada terjadinya pelanggaran Ham (yang berat). Sebagai contoh penanganan kasus pengungkapan Korupsi di wilayah Jawa Barat yang berakibat pemukulan terhadap saksi oleh sekelompok orang yang diduga atas perintah pemerintah daerah yang diakhiri dengan pengajuan saksi korban pemukulan sebagai tersangka dan terdakwa pencemaran nama baik pemerintah daerah, merupakan bentuk penyalahgunaan wewenang yang berdampak dan bernuansa pelanggaran Ham. Namun dengan kecepatan LPSK menyikapi kasus dimaksud, melakukan investigasi ketempat kejadian terhadap saksi kunci dan mengeluarkan penetapan dapat menjadi solusi dengan dijatuhkannya Putusan BEBAS terhadap para terdakwa (korban) yang sebelumya dituntut 1 (satu) tahun enam bulan oleh Penuntut Umum.
Banyak kasus lain yang sebenarnya bisa melibatkan LPSK, seperti perkara pembunuhan aktivis HAM Moenir dengan terdakwa Muhdi PR, terganjal takutnya saksi Budi S untuk memberikan keterangan di depan persidangan dan berada diluar negeri, seharusnya dapat ditangani oleh LPSK, misalnya dengan Penetapan LPSK untuk menetapkan agar keterangannya diberikan tanpa kehadiran saksi, penggunaan teleconfrence, perubahan identitas atau bahkan melalui pemeriksaan tertutup. Dan banyak lagi kasus atas nama pejabat, mantan pejabat, anak atau keluarga pejabat bahkan teman pejabat yang tidak dapa Disamping itu menurut pasal 7 UU PSK maka Korban juga akan difasilitasi oleh LPSK untuk mendapatkan hak Kompensasi, yang sudah juga di kuatkan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 44 tahun 2008 tentang Bantuan, Kompensasi dan Restitusi. Hak-hak tersebut diberikan bukan saja dalam proses penyidikan, tapi sejak proses penyelidikan, sehingga Komnas Ham selaku penyelidik dapat bekerja sama dengan LPSK sejak dini.
t dituntaskan, karena terbentur takutnya saksi bersaksi di pengadilan.

Selesai, terima kasih
Wassalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Penulis,

Iktut Sudiharsa, SH MSi.

Tinggalkan komentar